Bacaan Yohanes 4: 3-42

Pada bulan September 2002, tahun yang lalu, Lembaga Kebudayaan Bentara Budaya Yogyakarta menyelenggarakan pameran foto dengan tema : Urip Mung Mampir Ngombe. Foto-foto yang tercantum tidak menang menarik dari teks yang menyertainya, suatu plesetan dari filosofi Jawa tadi.
Misalnya, foto sindhen dan penyanyi campur sari, Anik Sunyahni. dilengkapi teks : Urip mung mampir ngombe (Hidup hanya mampir minum). Foto Djoko Pekik, pelukis termahal, disertai teks : Urip waton ngombe (hidup asal minum). Foto Dalang Setan Ki Manteb Sudarsono : Urip ora waton ngombe (hidup tidak asal minum). Foto Ranto Edi Gudel, ayah Mamiek Prakosa yang pelawak : Urip pancen Ngombe (hidup memang untuk minum). Foto seorang tua : Urip sak derma ngombe (hidup minum seadanya). Dan Foto seorang wartawan : Urip kudu ngombe (hidup harus minum).
Semua plesetan itu bertolak dari kesementaraan hidup yang ada di balik pengertian urip mung mampir ngombe itu. Jika hidup itu sementara terdapat dua kemungkinan hidup yang bisa dipilih.
1. Karena hidup ini sementara, maka mumpung hidup carilah kenikmatan senikmat nikmatnya. Harta sebanyak-banyaknya. Kekuasaan sebesar-besarnya.
2. Atau sebaliknya. Hidup itu sementara, maka hati-hati, jangan seenaknya, jangan menumpuk harta yang tidak bisa dibawa ketika meningalkan hidup. Surgalah yang penting dan abadi. Maka kejarlah surga, jangan mengejar dunia.
Urip mung mampir ngombe, menyodorkan dua pilihan ekstrim : pilih dunia atau surga ? Seolah-olah, jika memilih ‘dunia’ tidak mendapat jatah kapling di surga, dan jika milih sorga, jangan hidup didunia.
Tidak dapatkah kita memaknai secara positif kehidupan di dunia ini ? Tentu saja dapat dan harus, justru karena kita hidup di dunia, dan tidak berakhir pada kematian di sini. Maka, kita bisa memberi makna baru terhadap urip mung mampir ngombe jika tidak membuat pemisahan yang radikal terhadap kedua hal di atas. Sorga yang abadi berlawanan dengan dunia yang sementara. Urip mung mampir ngombe tidak lagi merupakan penyepelean terhadap dunia, dan pemuliaan keabadian. Namun ajakan untuk hidup di dunia menuju ciptaan sempurna, yang dimulai di sini. Hidup di dunia bukanlah kutukan, namun kesempatan untuk menjadi manusia yang bebas dan bahagia, tanpa terikat apapun.
Jika, kita telah bergumul dengan urip mung mampir ngombe. Dalang Kondang Mantep Sudarsono mengatakan Urip ora waton ngombe, Ranto Edi Gudel mengatakan urip pancen ngombe. Foto seorang tua : Urip sak derma ngombe (hidup minum seadanya). Dan foto seorang wartawan : Urip kudu ngombe (hidup harus minum), Kira-kira teks apakah yang cocok untuk percakapan Yesus dan perempuan Samaria tentang air hidup ?
Injil Yohanes memang menuntun orang kepada hidup dalam Yesus. Yang disampaikan melalui cerita tentang pengenalan dan penyerahan diri kepada Yesus. Kisah Percakapan dengan Perempuan Samaria menunjukkan hal ini. Kisah ini terjadi ketika Yesus meninggalkan Yudea hendak kembali ke Galilea (ay. 1-3). Ia melewati Samaria, kota Sikhar, tempat sumur Yakub (ay.4-7). Kisah ini terdiri dari 2 babak. Babak pertama adalah Yoh 4: 7-26, adalah percakapan Yesus dengan Perempuan Samaria, tentang air sumur dan air hidup. Dan babak kedua, Yoh 27- 38, adalah percakapan Yesus dengan para murid tentang makanan untuk hidup. Kisah ditutup dengan kembalinya perempuan Samaria bersama dengan orang-orang lain.
Yang disebut hidup adalah apabila sungguh-sungguh mengenal dan dipersatukan dengan Yesus. Tanpa Yesus, kehausan akan senantiasa mendera manusia. Injil Yohanes menyatakan, bahwa Yesus adalah air hidup. Apabila sudah minum air hidup, maka makanannya adalah melakukan kehendak Bapa. Inilah yang membuat Yesus diterima oleh perempuan Samaria dan orang-orang yang lain. Pada akhirnya mereka mengatakan, : "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia."
Marilah kita melihat dan merasakan perlakuan Yesus kepada perempuan Samaria. Sesungguhnya, pertemuan Yesus dan Perempuan Samaria sangatlah rawan, berkaitan dengan adat istiadat. Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa laki-laki dan perempuan, pada masa itu tidak diperkenankan bertemu di ruang publik. Apalagi terlibat dal;am percakapan yang panjang. Dan sumur Yakub merupakan ruang publik. Sumur umum. Yang kedua, sudah menjadi kebiasaan umum bahwa orang Yahudi tidak berbicara kepada orang Samaria. Sebab, orang Yahusi memiliki ras yang murni keagamaan dan kesukuannya, sedangkan penduduk Samaria adalah hasil kawin campur Israel dengan Kanaan. Jadi, sebagai suatu bangsa, orang Samaria adalah penduduk kelas dua. Ini yang laki-laki. Sedangkan Yesus bercakap-cakap dengan seorang perempuan Samaria. Maka, Perempuan Samaria adalah warga negara kelas tiga. Tapi tunggu dulu. Ini jika perempuan normal, sehat jasmani dan rohaninya. Sedangkan, dari bacaan kita tahu bahwa ia adalah seorang perempuan yang telah memiliki lima orang suami, dan sekarang yang ada padanya bukan suaminya. Jadi, makin turunlah status kemanusiaan Perempuan Samaria, itu kelas empat. Mungkin bisa turun lagi, jiika ia bertambah buruk kelakuannya. Ketiga, jika akan minta atau mengambil air, maka harus memiliki alat, yaitu wadah dari kulit yang ujungnya diikat menggunakan tali sekaligus sebagai timba. Sedangkan Yesus tidak membawa apa-apa.
Tetapi justru itulah yang terjadi, dan yang mengesankan dari kisah ini : Perjumpaan Yesus dengan manusia yang direndahkan. Padahal ia seorang nabi. Bukan hanya tinggi tak terjngkau. Nabi adalah orang yang dinantikan kehadirannya oleh semua orang. Sungguh luar biasa, Yesus Sang Nabi menyediakan diri, menerima orang yang rendah tidak ketulungan. Bercakap-cakap denganya. Dalam teks digambarkan betapa sulit Perempuan Samaria ini memahami arti “rohani” air. Ia memberikan air hidup bagi perempuan Samaria, ia yang sungguh direndahkan.
Pada babak kedua, dikisahkan tentang para murid yang baru kembali membawa makanan dari kota. Mereka keheranan melihat Yesus bercakap-cakap dengan Perempuan Samaria. Lalu dijawabnya, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Menerima dan bercakap-cakap dengan perempuan adalah melakukan kehendak Bapa. Sekalipun itu menjadi tanda tanya besar dalam benak para murid, "Apa yang Engkau kehendaki? Atau: Apa yang Engkau percakapkan dengan dia?"
Ketika Perempuan Samaria telah kembali lagi pada Yesus dan para murid, ia telah membawa serombongan orang. Perhatikanlah kalimat perempuan ini, yang membuat rombongan orang Samaria tertarik, "Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat." Padahal Yesus mengatakan sesuatu yang sangat pribadi sifatnya, bahwa ia telah memiliki lima suami dan yang sekarang ada bukan suaminya. Perkenalannya dengan Yesus membuat ia tidak lagi malu, menutup diri. Justru dari pertemuannya dengan Yesus, menjadi tegar. Kehinaannya telah menjadi kesaksian bagi kemuliaan Yesus Sang Nabi, yang membawa orang dalam perjumpaan denganNya. Banyak orang minum air hidup.
Persekutuan dalam Yesus, mengandaikan kita semua, urip mung mampir ngombe, urip kudu ngombe, minum air hidup itu. Bersama-sama dan berbagi, tidak diminum sendirian.
Yesus yang membuka diri dan menerima Perempuan Samaria, yang paling tidak diperhitungkan. Jika urip pancen ngombe, maka hal yang sama pun perlu dilakukan. Berbagi dengan mereka yang sering tidak diperhitungkan. Dengan demikian kita belajar untuk memaknai secara positif keberadaan kita di dunia.
Amien.
(Pdt. Teguh PA, Khotbah Sulung)