22 Agustus 2008

Harga Sebuah Kemerdekaan

Tahun ini Indonesia kembali memperingati perayaan ulangtahunnya yang ke-63, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2008 kemarin. Harga sebuah kemerdekaan tidaklah murah, perlu pengorbanan dan darah yang ditumpahkan. Tidak mudah bagi pejuang-pejuang Indonesia mempertahankan tanah airnya, merebut kembali apa yang disebut kemerdekaan.

Selama 350 tahun dan 3,5 tahun negara kita dijajah. Selama itu pula rakyat Indonesia harus hidup dalam keterbatasan, bukan hanya hidup dalam keterbatasan mereka hidup dalam belenggu perbudakan.

Sejak jaman Hassanudin hingga Bung Karno mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan, rakyat Indonesia telah membayar dengan harga yang tidak murah. Berapa nyawa yang telah mati di medan perang mempertahankan tanah air, berapa orang ibu yang harus menangis karena anaknya tidak kembali dari medan perang, berapa istri yang menjadi janda karena suami pergi berperang, dan berapa orang anak yang kehilangan ayahnya di medan perang? Jumlah yang terlalu banyak, tidak terhitung, bahkan mungkin taman makam pahlawan tidak cukup untuk mengubur semua pahlawan tak bernama itu.

Pernahkah kita merenungkan apa yang dipikirkan oleh mereka ketika memutuskan untuk terjun ke medan perang? Mereka tahu semua resikonya, mereka tahu bahwa mungkin nanti mereka tidak akan kembali lagi untuk melihat senyum sang istri atau mendengar canda tawa sang anak atau merasakan kecupan kasih sayang seorang ibu, Apa mereka yang terlintas di pikiran mereka saat itu?

Apakah mereka berpikir bahwa apa yang mereka lakukan semata-mta adalah demi kebebasan mereka sendiri? Tidak, mereka hanya ingin anak cucunya merasakan kemerdekaan, kebebasan, dan memiliki kesempatan untuk memperoleh hidup yang lebih baik, sesuatu yang tidak mereka miliki dulu. Terimakasih pahlawanku.

Catatan:
Sama seperti Yesus, ketika Allah menjanjikan seorang penyelamat bagi umat manusia, Dia tidak memikirkan kepentingannya. Dia hanya ingin agar saya, Anda, maupun siapa pun bisa bebas dari penjajahan dosa, perbudakan dosa, dan belenggu dosa. Harga sebuah kemerdekaan tidak murah. Dia harus melunaskan semuanya di atas kayu salib. Thank U Lord.


(Renungan by : Yohana)


01 Agustus 2008

Spiritualitas Yesus sebagai Dasar dalam Bergereja

Bacaan Yohanes 4: 3-42


Pada bulan September 2002, tahun yang lalu, Lembaga Kebudayaan Bentara Budaya Yogyakarta menyelenggarakan pameran foto dengan tema : Urip Mung Mampir Ngombe. Foto-foto yang tercantum tidak menang menarik dari teks yang menyertainya, suatu plesetan dari filosofi Jawa tadi.

Misalnya, foto sindhen dan penyanyi campur sari, Anik Sunyahni. dilengkapi teks : Urip mung mampir ngombe (Hidup hanya mampir minum). Foto Djoko Pekik, pelukis termahal, disertai teks : Urip waton ngombe (hidup asal minum). Foto Dalang Setan Ki Manteb Sudarsono : Urip ora waton ngombe (hidup tidak asal minum). Foto Ranto Edi Gudel, ayah Mamiek Prakosa yang pelawak : Urip pancen Ngombe (hidup memang untuk minum). Foto seorang tua : Urip sak derma ngombe (hidup minum seadanya). Dan Foto seorang wartawan : Urip kudu ngombe (hidup harus minum).

Semua plesetan itu bertolak dari kesementaraan hidup yang ada di balik pengertian urip mung mampir ngombe itu. Jika hidup itu sementara terdapat dua kemungkinan hidup yang bisa dipilih.

1. Karena hidup ini sementara, maka mumpung hidup carilah kenikmatan senikmat nikmatnya. Harta sebanyak-banyaknya. Kekuasaan sebesar-besarnya.

2. Atau sebaliknya. Hidup itu sementara, maka hati-hati, jangan seenaknya, jangan menumpuk harta yang tidak bisa dibawa ketika meningalkan hidup. Surgalah yang penting dan abadi. Maka kejarlah surga, jangan mengejar dunia.

Urip mung mampir ngombe, menyodorkan dua pilihan ekstrim : pilih dunia atau surga ? Seolah-olah, jika memilih ‘dunia’ tidak mendapat jatah kapling di surga, dan jika milih sorga, jangan hidup didunia.

Tidak dapatkah kita memaknai secara positif kehidupan di dunia ini ? Tentu saja dapat dan harus, justru karena kita hidup di dunia, dan tidak berakhir pada kematian di sini. Maka, kita bisa memberi makna baru terhadap urip mung mampir ngombe jika tidak membuat pemisahan yang radikal terhadap kedua hal di atas. Sorga yang abadi berlawanan dengan dunia yang sementara. Urip mung mampir ngombe tidak lagi merupakan penyepelean terhadap dunia, dan pemuliaan keabadian. Namun ajakan untuk hidup di dunia menuju ciptaan sempurna, yang dimulai di sini. Hidup di dunia bukanlah kutukan, namun kesempatan untuk menjadi manusia yang bebas dan bahagia, tanpa terikat apapun.

Jika, kita telah bergumul dengan urip mung mampir ngombe. Dalang Kondang Mantep Sudarsono mengatakan Urip ora waton ngombe, Ranto Edi Gudel mengatakan urip pancen ngombe. Foto seorang tua : Urip sak derma ngombe (hidup minum seadanya). Dan foto seorang wartawan : Urip kudu ngombe (hidup harus minum), Kira-kira teks apakah yang cocok untuk percakapan Yesus dan perempuan Samaria tentang air hidup ?

Injil Yohanes memang menuntun orang kepada hidup dalam Yesus. Yang disampaikan melalui cerita tentang pengenalan dan penyerahan diri kepada Yesus. Kisah Percakapan dengan Perempuan Samaria menunjukkan hal ini. Kisah ini terjadi ketika Yesus meninggalkan Yudea hendak kembali ke Galilea (ay. 1-3). Ia melewati Samaria, kota Sikhar, tempat sumur Yakub (ay.4-7). Kisah ini terdiri dari 2 babak. Babak pertama adalah Yoh 4: 7-26, adalah percakapan Yesus dengan Perempuan Samaria, tentang air sumur dan air hidup. Dan babak kedua, Yoh 27- 38, adalah percakapan Yesus dengan para murid tentang makanan untuk hidup. Kisah ditutup dengan kembalinya perempuan Samaria bersama dengan orang-orang lain.

Yang disebut hidup adalah apabila sungguh-sungguh mengenal dan dipersatukan dengan Yesus. Tanpa Yesus, kehausan akan senantiasa mendera manusia. Injil Yohanes menyatakan, bahwa Yesus adalah air hidup. Apabila sudah minum air hidup, maka makanannya adalah melakukan kehendak Bapa. Inilah yang membuat Yesus diterima oleh perempuan Samaria dan orang-orang yang lain. Pada akhirnya mereka mengatakan, : "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia."

Marilah kita melihat dan merasakan perlakuan Yesus kepada perempuan Samaria. Sesungguhnya, pertemuan Yesus dan Perempuan Samaria sangatlah rawan, berkaitan dengan adat istiadat. Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa laki-laki dan perempuan, pada masa itu tidak diperkenankan bertemu di ruang publik. Apalagi terlibat dal;am percakapan yang panjang. Dan sumur Yakub merupakan ruang publik. Sumur umum. Yang kedua, sudah menjadi kebiasaan umum bahwa orang Yahudi tidak berbicara kepada orang Samaria. Sebab, orang Yahusi memiliki ras yang murni keagamaan dan kesukuannya, sedangkan penduduk Samaria adalah hasil kawin campur Israel dengan Kanaan. Jadi, sebagai suatu bangsa, orang Samaria adalah penduduk kelas dua. Ini yang laki-laki. Sedangkan Yesus bercakap-cakap dengan seorang perempuan Samaria. Maka, Perempuan Samaria adalah warga negara kelas tiga. Tapi tunggu dulu. Ini jika perempuan normal, sehat jasmani dan rohaninya. Sedangkan, dari bacaan kita tahu bahwa ia adalah seorang perempuan yang telah memiliki lima orang suami, dan sekarang yang ada padanya bukan suaminya. Jadi, makin turunlah status kemanusiaan Perempuan Samaria, itu kelas empat. Mungkin bisa turun lagi, jiika ia bertambah buruk kelakuannya. Ketiga, jika akan minta atau mengambil air, maka harus memiliki alat, yaitu wadah dari kulit yang ujungnya diikat menggunakan tali sekaligus sebagai timba. Sedangkan Yesus tidak membawa apa-apa.

Tetapi justru itulah yang terjadi, dan yang mengesankan dari kisah ini : Perjumpaan Yesus dengan manusia yang direndahkan. Padahal ia seorang nabi. Bukan hanya tinggi tak terjngkau. Nabi adalah orang yang dinantikan kehadirannya oleh semua orang.

Sungguh luar biasa, Yesus Sang Nabi menyediakan diri, menerima orang yang rendah tidak ketulungan. Bercakap-cakap denganya. Dalam teks digambarkan betapa sulit Perempuan Samaria ini memahami arti “rohani” air. Ia memberikan air hidup bagi perempuan Samaria, ia yang sungguh direndahkan.

Pada babak kedua, dikisahkan tentang para murid yang baru kembali membawa makanan dari kota. Mereka keheranan melihat Yesus bercakap-cakap dengan Perempuan Samaria. Lalu dijawabnya, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Menerima dan bercakap-cakap dengan perempuan adalah melakukan kehendak Bapa. Sekalipun itu menjadi tanda tanya besar dalam benak para murid, "Apa yang Engkau kehendaki? Atau: Apa yang Engkau percakapkan dengan dia?"

Ketika Perempuan Samaria telah kembali lagi pada Yesus dan para murid, ia telah membawa serombongan orang. Perhatikanlah kalimat perempuan ini, yang membuat rombongan orang Samaria tertarik, "Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat." Padahal Yesus mengatakan sesuatu yang sangat pribadi sifatnya, bahwa ia telah memiliki lima suami dan yang sekarang ada bukan suaminya. Perkenalannya dengan Yesus membuat ia tidak lagi malu, menutup diri. Justru dari pertemuannya dengan Yesus, menjadi tegar. Kehinaannya telah menjadi kesaksian bagi kemuliaan Yesus Sang Nabi, yang membawa orang dalam perjumpaan denganNya. Banyak orang minum air hidup.

Persekutuan dalam Yesus, mengandaikan kita semua, urip mung mampir ngombe, urip kudu ngombe, minum air hidup itu. Bersama-sama dan berbagi, tidak diminum sendirian.

Yesus yang membuka diri dan menerima Perempuan Samaria, yang paling tidak diperhitungkan. Jika urip pancen ngombe, maka hal yang sama pun perlu dilakukan. Berbagi dengan mereka yang sering tidak diperhitungkan. Dengan demikian kita belajar untuk memaknai secara positif keberadaan kita di dunia.

Amien.
(Pdt. Teguh PA, Khotbah Sulung)



BAPTISAN YESUS : SEBUAH KESAKSIAN YANG MENGUBAH HIDUP


Bacaan Yohanes 1 : 29 - 42

Pernahkah kita renungkan bahwa kesaksian Yohanes Pembabtis tentang Yesus mengubahkan hidup seseorang?
Sebuah kesaksian besar yang pernah terjadi dimana seorang Yohanes Pembabtis
dengan jujur, tegas dan lugas menyatakan siapa diri Yesus yang sebenarnya. Yohanes Pembabtis mengambil momen babtisan Yesus sebagai sarana menyatakan diri Yesus. “…Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia tinggal di atas-Nya. Dan aku pun tidak mengenalNya, tetapi Dia, yang mengutus aku untuk membabtis dengan air, telah berfirman kepadaku : Jikalau engkau melihat Roh itu turun ke atas seseorang dan tinggal di atas-Nya, Dialah itu yang akan membabtis dengan Roh Kudus….Ia inilah Anak Allah” (ay32-34). Ketika Yohanes Pembabtis melihat Yesus maka ia pun juga menyatakan, “Lihatlah Anak Domba Allah!” (ay 36). Kesaksian Yohanes Pembabtis itu menggugah hati muridnya yang bernama Andreas dan juga Simon Petrus untuk mengikut Dia.

Coba kita perhatikan sebuah perumpamaan berikut ini : Pemancar stasiun televisi dibuat sedemikian rupa agar bisa memancarkan sebuah gelombang yang dapat kita terima menjadi tampilan audio visual yang jelas. Kita bebas memilih saluran yang disediakan. Ada siaran televisi yang mendidik dan memberikan nilai-nilai moral yang baik, ada juga siaran yang mementingkan komersial tanpa visi yang jelas, atau siaran yang jelas-jelas memberikan hiburan duniawi dan untuk memuaskan keinginan duniawi kita. Kita bebas memilih! Hidup kita tidak jauh seperti fungsi pemancar stasiun televisi. Kita yang percaya kepada Yesus sebagai Anak Allah dan sebagai satu-satunya Juruselamat tentunya harus memancarkan siaran yang menghasilkan buah-buah Roh dan menyatakan kepada siapapun bahwa Yesus adalah Anak Allah yang menyelamatkan hidup!

Mari kita renungkan baptisan Yesus lebih dalam dan memohon kepada Allah agar menjadikan hidup kita lebih “berani” untuk menyatakan Yesus Sang Mesias, Anak Allah yang menyelamatkan hidup. Semoga di dalam kesaksian hidup kita terpancar Yesus dan kuasaNya sehingga menjadi berkat bagi banyak orang yang belum percaya.

Amien.